CATUR MARGA
A. SUMBER AJARAN CATUR MARGA
Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam pustaka suci Bhagawadgita,
terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga yakni sebagai satu sistem
yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik)
dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak baik) yang dibedakan menjadi
perbuatan tidak berbuat akarma dan wikarma perbuatan yang keliru.
Karma memiliki dua makna yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma
dalam arti tingkah perbuatan. Kedua, tentang bhakti yoga marga yakni menyembah
Tuhan dalam wujud yang abstrak dan menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata,
misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca ataumantra. Ketiga,
tentang jnana yoga marga yakni jalan pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha
Esa, ada dua pengetahuan yaitu jnana (ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu
dalam penetahuan itu). Keempat, Raja Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara
atau jalan yoga atau meditasi (konsentrasi pikiran) untuk menuju Tuhan Yang
Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun tujuannya adalah Sebagai jalan atau
sarana untuk mempersatukan manusia dan Tuhan yang Maha Esa.[1] Dalam
kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam
prapadyante
tams tathai ‘va
bhajamy aham
mama vartma
‘nuvartante
manushyah
partha sarvasah
“Jalan manapun
ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua
mereka menuju jalan-Ku,
oh Parta.” Artinya, keyakinan apapun atau agama apapun yang dianut seseorang
dalam tujuan mencari Tuhan, diterima oleh Nya.
Bhagawad Gita
Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi:
yo-yo yam-yam
tanum bhaktah
sraddhaya
‘rchitum achchhati
tasya-tasya
‘chalam sraddham
tam eva
vidadhamy aham
“Apapun bentuk
kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan
kepercayaan
mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.”
B. PENGERTIAN DAN TUJUAN CATUR MARGA
Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur
dan marga. Catur berarti empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha. Jadi
catur marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan
menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur marga
juga sering disebut dengan catur marga yoga. Keempat jalan yang diajarkan oleh
kitab suci Weda haruslah dilaksanakan semuanya dalam kehidupan sehari-hari bagi
mereka yang berniat untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, hanya waktu
pelaksanaannya yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari
masing-masing orang, karena situasi dan kondisi untuk setiap orang tidaklah
sama.[2]
“Bhadram no api vataya mano daksam uta kratum,
adha te sakhye andhaso vi vo made ranam gavo na yavase vivaksase”.
Terjemahannya adalah:
“Berikanlah kami pikiran yang baik dan
bahagia, berikanlah kami keterampilan dan pengetahuan. Maka semoga manusia
dalam persahabatan-mu merasa bahagia, ya Tuhan! seperti sapi di padang rumput.
Engkau yang Maha Agung”. (Rg Veda X25. 1)
Catur Marga ini bertujuan untuk memantapkan
mengenai tujuan hidup dan kehidupan umat manusia di alam semesta ini, terutama
untuk peningkatan, pencerahan, serta memantapkan keyakinan atau kepercayaan
(sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran catur marga, maka
diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang berkualitas,
bertanggung jawab, memiliki loyalitas, memiliki dedikasi, memiliki jati diri
yang mulia, menjadi umat yang pantas diteladani oleh umat manusia yang lainnya,
menjadi umat yang memiliki integritas tinggi terhadap kehidupan secara lahir
dan batin, dan harapan mulia lainnya guna tercapai kehidupan yang damai, rukun,
tenteram, sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan penerapan dan ajaran
catur marga diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat manusia pada umumnya
menjadi mantap dalam berke-sraddha-an dan berke-bhakti-an kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa, serta dapat diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama
manusia, semua ciptaan Tuhan, dan lingkungan yang damai dan serasi di sekitar
kehidupan masing-masing. Jelaslah, bahwa seseorang dalam tujuan
hidupnya menuju kepada Tuhan tidaklah cukup menjalankan hanya salah satu dari
Catur Marga. Karena Catur Marga adalah merupakan tahapan-tahapan yang harus
dilaksanakan dalam kehidupan seharihari, sehingga akhirnya sampai pada puncak
kesadaran yaitu samadhi dimana pikiran manusia sudah mencapai titik nol
(kosong).[3]
C. BAGIAN-BAGIAN CATUR MARGA
Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat
jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu moksa, dengan menghubungkan diri dan
pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur marga terdiri dari
empat bagian yaitu bhakti marga, jnana marga, karma marga dan raja marga.
1) Bhakti Marga
Kata Bhakti berarti menyalurkan cinta yang tulus dan luhur kepada Tuhan,
kesetiaan kepada-Nya, perhatian yang sungguh-sungguh untuk memujanya. Kata
Marga berarti jalan atau usaha, sehingga Bhakti Marga adalah jalan pengabdian
kepada Ida Sang Hyang Widhi melalui cinta kasih yang luhur dan mulia. Untuk
memupuk sradha, harus ada rasa bhakti dan kasih sayang terhadap Tuhan, dalam
ajaran Agama Hindu dikenal 2 bentuk bhakti yaitu:
a) Aphara
Bhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan
dengan berbagai permohonan. Dan permohonan itu wajar mengingat keterbatasan
pengetahuan kita. Namun, permohonan yang dimaksudkan itu wajar dan tidak
berlebihan.
b) Parabhakti,
merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan rasa
tulus iklas, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau
melakukan aktivitas, tetapi ia aktif dan dengan keyakinan bahwa bila bekerja
dengan baik dan tulus niscaya akan memperoleh pahala yang baik pula.[4]
Dalam ayat suci dijelaskan atas
jawaban keraguan Arjuna tentang bagaimana cara menyembah Tuhan. Pertanyaan
Arjuna tersebut dijawab oleh Kresna dalam sloka (2), (3) dan (4) yang berbunyi
:
Mayy avesya
mano ye mam
Nityayukta
upasate
Sraddhaya
parayo ‘petas
Te me yuktatama
matah
“Yang
menyatukan pikiran berbakti pada-Ku menyembah Aku, dan tawakal selalu, memiliki
kepercayaan yang sempurna, merekalah Ku-pandang terbaik dalam yoga.”
Ye tv aksharam
anirdesyam
Avyaktam
paryupasate
Sarvatragam
achintyam cha
Kutastham
achalam dhruvam
Samniyamye
‘ndriyagraman
Savatra
samabuddhayah
Te prapnuvanti
mam eva
Sarvabhutahite
ratah
“Tetapi mereka
yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak terumuskan, Yang Tak nyata, Yang
Melingkupi segala, Yang Tak terpikirkan, Yang Tak berubah, Yang Tak bergerak,
Yang Konstan, dengan menahan pancaindria, hawanafsu selalu seimbang dalam
segala situasi, berusaha guna kesejahteraan semua insani, mereka juga datang
kepada-Ku.”
Dalam pustaka Hindu, diuraikan
beberapa jenis bentuk bhakti yang disebutkan “Bhavabhakti”, sebagai berikut:
1) Santabhava adalah sikap bhakti seperti bhakti
atau hormat seorang anak terhadap ibu dan bapaknya.
2) Sakyabhava adalah bentuk bhakti yang meyakini
Hyang Widhi, manifestasiNya, Istadewata sebagai sahabat yang sangat akrab dan
selalu memberikan perlindungan dan pertolongan pada saat yang diperlukan
3) Dasyabhava adalah bhakti atau pelayanan kepada
Tuhan seperti sikap seorang hamba kepada majikannya.
4) Vatsyabhava adalah sikap seorang penyembah
atau memandan Tuhan seperti anaknya sendiri.
5) Kantabhava adalah seorang penyembah atau
bhakta seperti sikap seorang istri terhadap suami tercinta.
6) Madhuryabhava adalah bentuk bhakti sebagai
cinta yang amat mendalam dan tulus dari seorang bhakta kepada Tuhan.
Gejala-gejala
dari adanya Bhakti Marga adalah:
a) Kerinduan untuk bertemu kepada yang dipujanya
b) Keinginan untuk berkorban
c) Keingingan untuk menggambarkan
d) Melenyapkan rasa takut
e) Melahirkan rasa seni
f) Melahirkan rasa terharu
g) Melahirkan mitologi. [5]
Seseorang yang menjalani Bhakti Marga disebut Bhakta, sikapnya selalu
merasa puas dalam segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Sikapnya
yang tenang dan sabar membawanya pada keseimbangan batin yang sempurna, seorang
Bhakta akan selalu mengembangkan sifat Catur Paramitha yaitu Maitri, Karuna,
Mudita dan Upeksa. Selain itu, seorang bhakta akan selalu membebaskan diri dari
keangkuhan (ahamkara) dan tidak ada
ikatan sama sekali terhadap apapun karena seluruh kekuatannya dipakai untuk
memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi.[6]
2) Karma Marga
Karma Marga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa
dengan perbuatan dan bekerja tanpa pamrih.Mengamalkan agama dengan berbuat
Dharma atau kebajikan seperti mendirkan pura dan merawatnya, menolong orang
yang kesusahan, berbagai kegiatan sosial
(subhakarma) lainnya yang dilandasi dengan ikhlas dan rasa tanggung jawab.
Itulah pengalaman agama dengan kerja (karma).[7] Pada
hakikatnya seorang karma yoga selalu mendambakan pedoman rame inggawe sepi ing
pamrih. dengan menyerahkan keinginannya akan pahala yang berlipat ganda.
Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan dia akan memancarkan sinar dari
tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat tempat hidupnya pun kana
menjadi bahagia, sejahtera, ia akan mencapai kesucian batin dan kebijaksanaan.
KarmaYoga pada sloka Kresna bersabda
“orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tidak bekerja, juga ia tidak
akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja. Tetapi, bagi
orang yang sudah dapat mengendalikan pancaindrianya dengan pikiran serta bekerja
dengan tanpa mementingkan diri sendiri, dialah yang disebut orang yang utama” Bab
II sloka (47) Bhagavad Gita, mengatakan :
karmany eva
dhikaras te
ma phaleshu
kadachana
ma karma phala
hetur bhur
ma te sango
‘stv akarmani
“Kewajibanmu
kini hanya bertindak, bekerja tiada mengharap hasil, jangan sekali pahala jadi
motifmu, jangan
pula hanya berdiam diri jadi motifmu”
Selanjutnya
dalam sloka (48) dikatakan :
Yogasthah kuru
karmani
Sangam tyaktva
dhanamjaya
Siddhyasiddhyoh
samo bhutva
Samatvam yoga
uchyate
“Pusatkan
pikiranmu pada kesucian, bekerjalah tanpa menghirukan pahala, Dananjaya,
tegaklah
pada sukses
maupun kegagalan, sebab, keseimbangan jiwa adalah yoga”
Dipertegas lagi
oleh sloka (49) yang bunyinya :
durena hy
avaram karma
buddhi yogad
dhanamjaya
buddhau saranam
anvichchha
kripanah phala
hetevah
“Rendahlah
derajat kalau hanya kerja tanpa disiplin budi, oh Dananjaya. Serahkanlah dirimu
pada Yang Maha
Tahu, kasihan yang mengharap pahala dari kerja”.[8]
Dalam Bhagawadgita tentang Karma
Yoga dinyatakan sebagai berikut:
Tasmad asaktah
satatam karyam karma samcara, asakto hy acaran karma param apnoti purusah. (Bhagawadgita III. 19)
Artinya:
”Oleh karena
itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya,
sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu
sesungguhnya akan mencapai yang utama.”
Bekerja disini bukanlah diaartikan sebagai mencari uang, tetapi kerja
sosial atau kerja bakti. Jadi bekerja menurut keduniawian adalah wajib
hukumnya. Dalam Agama Hindu dikenal dengan istilah Subha dan Asubha Karma.
Subha Karma adalah perbuatan yang baik atau bekerja dengan baik sementara itu
lawannya adalah Asubha Karma atau bekerja secara tidak benar dan tidak bekerja.
Bekerja secara tidak benar disebut Wikarma dan tidak bekerja disebut Akarma.
Jadi Asubha Karma mencakup Akarma dan Wikarma. Dari istilah Akarma atau tidak
bekerja yang dalam Agama Hindu tidak dibenarkan, jelas tampak bekerja itu
adalah merupakan suatu keharusan bagi manusia. Tidak bekerja adalah menentang
petunjuk Tuhan atau dosa artinya bahwa Tuhan tidak akan memberi rahmat kepada
orang-orang yang tidak dapat bekerja, bahwa prilaku seperti itu adalah
perbuatan dosa.
Ada perilaku khusus yang dapat juga dikatakan sebagai Akarma atau tidak
bekerja yang berkaitan dengan pemakaian makhluk halus, mencari uang dengan
memelihara tuyul. Yang bekerja atau mencuri adalah tuyul itu, sementara yang
empunya tinggal menunggu saja hasil kerja si tuyul. Akarma seperti itu lebih
berbahaya bagi atmanya daripada Akarma yang lain diatas. Sebab orang yang minta
bantuan roh makhluk halus, kalau meninggal akan menjadi makhluk halus seperti
itu. Sebaliknya si makhluk halus bisa menjelma menjadi manusia.[9]
3) Jnana marga
Jnana artinya, kebijakan filsafat (pengetahuan). Sehingga, Jnana Marga
artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan
mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan
keduniawian. Tiada ikatan yang lebih kuat daripada Maya, dan tiada kekuatan
yang lebih ampuh daripada Yoga untuk membasmi ikatan-ikatan Maya itu. Untuk
melepaskan ikatan-ikatan kita harus mengarahkan segala pikiran kita dan
memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci. Akan tetapi, bila kita ingin
memberi suatu bentuk kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran harus
menerimanya. Sebaiknya bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita
akui bahwa segala pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya.
Jadi proses pertumbuhan merupakan hal yang mutlak, sebagai jalan tumbuhnya
pikiran, perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma, dan sikap batin (wikrama)
sangat diperlukan dimana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak
berbuat maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir
menunjukkan kualitas sebenarnya dari pikiran kita. Ada tiga hal yang penting
dalam hidup ini yaitu kebulatan pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri, dan
keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh, tentram,
dan damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan Dhyana yoga. Untuk tercapainya
perlu dibantu dengan Abhyasa,yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan
tidak mengaktifkan diri. Kekuatan pikiran kita lakukan saat kita berbuat apa
saja, dan pikiran harus kita pusatkan kepada-Nya.[10]
Dalam Bhagavad Gita Bab IV yang membahas tentang Jnana Yoga. Sloka (33)
menyebutkan:
srayan
dravyamayad yajnaj
jnanayajnah
paramtapa
sarvam karma
‘khilam partha
jnane
perisamapyate
”Persembahan
berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada persembahan materi;
dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, oh Parta.”
Selanjutnya dalam bab yang sama sloka (34), (36), (39) dikatakan :
Sloka (34)
tad viddhi
pranipatena
pariprasnena
sevaya
upadekshyanti
te jnanam
jnaninas
tattvadarsinah
“Belajarlah
dengan sujud disiplin, dengan bertanya dan dengan kerja berbakti; guru budiman
yang melihat kebenaran akan mengajarkan padamu ilmu budi pekerti.”
Sloka (36)
api ched asi
papebhyah
sarvebhyah
papakrittamah
sarvam
jnanaplavenai ‘va
vrijinam
samtarishyasi
“walau
seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa; dengan
perahu
ilmu
pengetahuan ini lautan dosa engkau akan sebrangi.”
Sloka (39)
sraddhavaml
labhate jnanam
tatparah samyatendriyah
jnanam labdhva
param santim
achirena
dhigachchhati
“Ia yang
memiliki kepercayaan dan menguasai pancaindrianya akan mencapai ilmu
pengetahuan; setelah memiliki ilmu pengetahuan dengan segera ia menemui
kedamaian abadi.”
Dari beberapa sloka di atas jelaslah, bahwa betapa sangat pentingnya ilmu
pengetahuan bagi manusia untuk dijadikan landasan dan kompas yang dapat
menopang dan mengarahkan langkahnya didalam melaksanakan Karma, Bhakti dan Raja
Marga sehingga sesuai dengan hakekat ajaran weda yang merupakan kitab suci bagi
umat hindu.
4) Raja Marga
Kata Raja berarti yang memimpin, yang tertinggi atau yang terkemuka. Raja
Marga artinya jalan yang tertinggi sedang Raja Marga juga bisa disebut Yoga
Marga berarti jalan atau usaha tertinggi untuk menghubungkan diri dengan Tuhan
yang Maha Esa melalui jalan yoga yang tertinggi. Raja Marga adalah suatu jalan
mistik (rohani) untuk mencapai moksa, raja marga mengajarkan bagaimana
mengendalikan indria-indria dan gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui
tapa, brata, yoga dan semadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk
mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang lebih
positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan semadhi
adalah latihan untuk menyatukan atma dengan Brahman dengan melakukan meditasi
atau pemusatan pikiran.[11]
Raja Marga Yoga disebut “Nivrtti Marga” ,yang artinya jalan yang tidak umum
atau bertentangan dengan dua yang sebelumnya. Raja marga Yoga memerlukan
pengendalian diri, disiplin diri, pengekangan dan penyangkalan terhadap hal –
hal yang bersifat keduniawian. Seseorang yang mempunyai bakat untuk itu dan
mendapatkan seorang guru yang tepat untuk menuntunnya, maka yang bersangkutan
akan berhasil mengikuti Raja Marga Yoga ini. Jalan yang Ditempuh Raja Yogin
Adapun jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin (orang yang
melaksanakan Raja Marga Yoga), yaitu dengan melakukan Tapa, Brata, Yoga dan
Samadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau
nafsu yang ada dalam diri kita ke arah yang positif sesuai dengan petunjuk
ajaran kitab suci. Yoga dan samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman
dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran. Yoga berasal
dari akar kata Sanskerta “Yuj” yang artinya to join (ikut serta, bersatu,
mengikat). Secara spiritual Yoga merupakan suatu proses di mana identitas jiwa
individual dan jiwa Ida Sang Hyang Widhi disadari oleh seorang yogi, Yogi
adalah orang yang menjalani yoga, orang yang telah mencapai persatuan dengan
Ida Sang Hyang Widhi. Jiwa manusia dibawa kepada kesadaran akan hubungan yang
dekat dengan sumber realitas (Ida Sang Hyang Widhi). Seperti setitik air yang
bersatu dengan air di samudra. Yoga adalah ketenangan hati, ketentraman,
keahlian dalam bertingkahlaku, Seyogala sesuatu yang terbaik dan tertinggi yang
dapat dicapai dalam hidup ini adalah Yoga juga,Yoga mencakup seluruh aplikasi
yang inclusive dan universal yang mengantar
kepada pengembanngan atau pembangunan seluruh badan, pikiran dan jiwa.
Yoga pada dasarnya adalah sebuah cara atau jalan hidup. Bukan sesuatu yang
keluar dari kehidupan, bukan pula menjauhkan diri dari aktifitas, melainkan
merupakan performa yang efisien dengan semangat hidup yang benar. Yoga bukan
pula melarikan diri dari rumah dan kebiasaan hidup manusia, melainkan merupakan
suatu proses pembentukan sikap untuk hidup di rumah (keluarga) maupun hidup
bermasyarakat dengan suatu pengertian baru, Yoga bukan memalingkan dari
kehidupan, Dia merupakan spiritual dari hidup.[12]
Dalam Bab VI Kitab Bhagawad Gita yang mengajarkan tentang Dhyana Yoga. Dalam
sloka (11), (12), (13), dan (14) disebutkan :
suchau dese
pratishthapya
sthiram asanam
atmanah
na
’tyuchchhritam na ’tinicham
chaila jina
kusottaram
tatrai ’kagram
manah kritva
yata
chittendriya kriyah
upavisya ‘sane
yunjyad
yogam atma
visuddhaye
samam
kayasirogrivam
dharayann
achalam sthirah
samprekshya
nasikagram svam
disas cha
‘navalokayan
prasantatma
vigatabhir
brahmacharivrate
sthitah
manah samyamya
machchitto
yukta asita matparah
Artinya : “Dengan
teguh duduk di tempat yang bersih, tidak tinggi dan juga tidak rendah,
ditumbuhi oleh rumput suci kosa, di atasnya kulit rusa dan kain silih
bertindih. Disana, dengan menyatupasukan hatinya, mengendalikan pikiran dan
gerak pancaindria, ia bersila di atas tempat duduknya, melaksanakan yoga,
menyucikan jiwa. Dengan badan, kepala dan leher tegak, duduk diam tiada
bergerak-gerak, tetap memandang ke ujung hidungnya, dan tanpa menoleh-noleh
sekitarnya.Dengan tenteram damai tiada gentar, teguh sebagai cantrik,
menaklukkan hatinya dengan harmonis memikirkan Aku belaka, biarlah ia duduk,
Aku jadi tujuannya.”
[1] Partadjaja,Tjok Rai dan Luh
Asli, Pendidikan Agama Hindu, (Singaraja: UNDIKSHA,2009), hlm. 243
[2] Suhardana,K.M,Pengantar
etika dan moralitas hindu, Paramita surabaya,Thn 2006. Hal 22
[3]
http://ketuhanan-hindu.blogspot.co.id/2013/11/catur-marga_26.html
[4] Suhardana,K.M,Pengantar
etika dan moralitas hindu, Paramita surabaya,Thn 2006. Hal 23
[6]
http://ismailsholeh94.blogspot.co.id/2015/06/catur-marga-panca-yadnya-dan-ajaran.html
[7] Cundamani,Pengantar
agama hindu, untuk perguruan tinggi, yayasan wisma karya 1987, jakarta. Hal 111
[8] Baghavad Gita dikutip Kirit Patel
dan Vijay C Amin.1999. Karma Yoga.Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia
[9] Cundamani.
Pengantar agama Hindu untuk perguruan ; Yayasan Wisma Karma,1993. Jakarta
[10] Pendit,
Nyoman S. 1996. Hindu Dharma Abad XXI. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha
[11] Romdhon,dkk
Agama-agama di dunia (yogyakarta, IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988)
[12] Praptini,
dkk. 2004. Buku Pelajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar