Minggu, 26 November 2017

RESPONDING PAPER 8

CATUR MARGA

A.    SUMBER AJARAN CATUR MARGA
Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam pustaka suci Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak berbuat akarma dan wikarma perbuatan yang keliru.
Karma memiliki dua makna yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma dalam arti tingkah perbuatan. Kedua, tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam wujud yang abstrak dan menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca ataumantra. Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha Esa, ada dua pengetahuan yaitu jnana (ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan itu). Keempat, Raja Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan yoga atau meditasi (konsentrasi pikiran) untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun tujuannya adalah Sebagai jalan atau sarana untuk mempersatukan manusia dan Tuhan yang Maha Esa.[1] Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ‘va bhajamy aham
mama vartma ‘nuvartante
manushyah partha sarvasah
“Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua
mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.” Artinya, keyakinan apapun atau agama apapun yang dianut seseorang dalam tujuan mencari Tuhan, diterima oleh Nya.
Bhagawad Gita Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi:
yo-yo yam-yam tanum bhaktah
sraddhaya ‘rchitum achchhati
tasya-tasya ‘chalam sraddham
tam eva vidadhamy aham
“Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan
kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.”


B.     PENGERTIAN DAN TUJUAN CATUR MARGA
Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur berarti empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha. Jadi catur marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur marga juga sering disebut dengan catur marga yoga. Keempat jalan yang diajarkan oleh kitab suci Weda haruslah dilaksanakan semuanya dalam kehidupan sehari-hari bagi mereka yang berniat untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, hanya waktu pelaksanaannya yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari masing-masing orang, karena situasi dan kondisi untuk setiap orang tidaklah sama.[2]
“Bhadram no api vataya mano daksam uta kratum, adha te sakhye andhaso vi vo made ranam gavo na yavase vivaksase”.
Terjemahannya adalah:
“Berikanlah kami pikiran yang baik dan bahagia, berikanlah kami keterampilan dan pengetahuan. Maka semoga manusia dalam persahabatan-mu merasa bahagia, ya Tuhan! seperti sapi di padang rumput. Engkau yang Maha Agung”. (Rg Veda X25. 1)
Catur Marga ini bertujuan untuk memantapkan mengenai tujuan hidup dan kehidupan umat manusia di alam semesta ini, terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta memantapkan keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran catur marga, maka diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang berkualitas, bertanggung jawab, memiliki loyalitas, memiliki dedikasi, memiliki jati diri yang mulia, menjadi umat yang pantas diteladani oleh umat manusia yang lainnya, menjadi umat yang memiliki integritas tinggi terhadap kehidupan secara lahir dan batin, dan harapan mulia lainnya guna tercapai kehidupan yang damai, rukun, tenteram, sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan penerapan dan ajaran catur marga diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat manusia pada umumnya menjadi mantap dalam berke-sraddha-an dan berke-bhakti-an kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta dapat diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama manusia, semua ciptaan Tuhan, dan lingkungan yang damai dan serasi di sekitar kehidupan masing-masing. Jelaslah, bahwa seseorang dalam tujuan hidupnya menuju kepada Tuhan tidaklah cukup menjalankan hanya salah satu dari Catur Marga. Karena Catur Marga adalah merupakan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan dalam kehidupan seharihari, sehingga akhirnya sampai pada puncak kesadaran yaitu samadhi dimana pikiran manusia sudah mencapai titik nol (kosong).[3]
           
C.     BAGIAN-BAGIAN CATUR MARGA
Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu moksa, dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur marga terdiri dari empat bagian yaitu bhakti marga, jnana marga, karma marga dan raja marga.
1)      Bhakti Marga

Kata Bhakti berarti menyalurkan cinta yang tulus dan luhur kepada Tuhan, kesetiaan kepada-Nya, perhatian yang sungguh-sungguh untuk memujanya. Kata Marga berarti jalan atau usaha, sehingga Bhakti Marga adalah jalan pengabdian kepada Ida Sang Hyang Widhi melalui cinta kasih yang luhur dan mulia. Untuk memupuk sradha, harus ada rasa bhakti dan kasih sayang terhadap Tuhan, dalam ajaran Agama Hindu dikenal 2 bentuk bhakti yaitu:
a) Aphara Bhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan berbagai permohonan. Dan permohonan itu wajar mengingat keterbatasan pengetahuan kita. Namun, permohonan yang dimaksudkan itu wajar dan tidak berlebihan.
b) Parabhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan rasa tulus iklas, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau melakukan aktivitas, tetapi ia aktif dan dengan keyakinan bahwa bila bekerja dengan baik dan tulus niscaya akan memperoleh pahala yang baik pula.[4]
            Dalam ayat suci dijelaskan atas jawaban keraguan Arjuna tentang bagaimana cara menyembah Tuhan. Pertanyaan Arjuna tersebut dijawab oleh Kresna dalam sloka (2), (3) dan (4) yang berbunyi :
Mayy avesya mano ye mam
Nityayukta upasate
Sraddhaya parayo ‘petas
Te me yuktatama matah
“Yang menyatukan pikiran berbakti pada-Ku menyembah Aku, dan tawakal selalu, memiliki kepercayaan yang sempurna, merekalah Ku-pandang terbaik dalam yoga.”
Ye tv aksharam anirdesyam
Avyaktam paryupasate
Sarvatragam achintyam cha
Kutastham achalam dhruvam
Samniyamye ‘ndriyagraman
Savatra samabuddhayah
Te prapnuvanti mam eva
Sarvabhutahite ratah
“Tetapi mereka yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak terumuskan, Yang Tak nyata, Yang Melingkupi segala, Yang Tak terpikirkan, Yang Tak berubah, Yang Tak bergerak, Yang Konstan, dengan menahan pancaindria, hawanafsu selalu seimbang dalam segala situasi, berusaha guna kesejahteraan semua insani, mereka juga datang kepada-Ku.”
            Dalam pustaka Hindu, diuraikan beberapa jenis bentuk bhakti yang disebutkan “Bhavabhakti”, sebagai berikut:
1)  Santabhava adalah sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan bapaknya.
2)  Sakyabhava adalah bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widhi, manifestasiNya, Istadewata sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dan pertolongan pada saat yang diperlukan
3)  Dasyabhava adalah bhakti atau pelayanan kepada Tuhan seperti sikap seorang hamba kepada majikannya.
4)  Vatsyabhava adalah sikap seorang penyembah atau memandan Tuhan seperti anaknya sendiri.
5)  Kantabhava adalah seorang penyembah atau bhakta seperti sikap seorang istri terhadap suami tercinta.
6)  Madhuryabhava adalah bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari seorang bhakta kepada Tuhan.

Gejala-gejala dari adanya Bhakti Marga adalah:
a)  Kerinduan untuk bertemu kepada yang dipujanya
b)  Keinginan untuk berkorban
c)  Keingingan untuk menggambarkan
d)  Melenyapkan rasa takut
e)  Melahirkan rasa seni
f)   Melahirkan rasa terharu
g)  Melahirkan mitologi. [5]
Seseorang yang menjalani Bhakti Marga disebut Bhakta, sikapnya selalu merasa puas dalam segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Sikapnya yang tenang dan sabar membawanya pada keseimbangan batin yang sempurna, seorang Bhakta akan selalu mengembangkan sifat Catur Paramitha yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa. Selain itu, seorang bhakta akan selalu membebaskan diri dari keangkuhan (ahamkara) dan  tidak ada ikatan sama sekali terhadap apapun karena seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi.[6]


2)      Karma Marga

Karma Marga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan dan bekerja tanpa pamrih.Mengamalkan agama dengan berbuat Dharma atau kebajikan seperti mendirkan pura dan merawatnya, menolong orang yang kesusahan,  berbagai kegiatan sosial (subhakarma) lainnya yang dilandasi dengan ikhlas dan rasa tanggung jawab. Itulah pengalaman agama dengan kerja (karma).[7] Pada hakikatnya seorang karma yoga selalu mendambakan pedoman rame inggawe sepi ing pamrih. dengan menyerahkan keinginannya akan pahala yang berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan dia akan memancarkan sinar dari tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat tempat hidupnya pun kana menjadi bahagia, sejahtera, ia akan mencapai kesucian batin dan kebijaksanaan.
            KarmaYoga pada sloka Kresna bersabda “orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tidak bekerja, juga ia tidak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja. Tetapi, bagi orang yang sudah dapat mengendalikan pancaindrianya dengan pikiran serta bekerja dengan tanpa mementingkan diri sendiri, dialah yang disebut orang yang utama” Bab II sloka (47) Bhagavad Gita, mengatakan :
karmany eva dhikaras te
ma phaleshu kadachana
ma karma phala hetur bhur
ma te sango ‘stv akarmani
“Kewajibanmu kini hanya bertindak, bekerja tiada mengharap hasil, jangan sekali pahala jadi
motifmu, jangan pula hanya berdiam diri jadi motifmu”
Selanjutnya dalam sloka (48) dikatakan :
Yogasthah kuru karmani
Sangam tyaktva dhanamjaya
Siddhyasiddhyoh samo bhutva
Samatvam yoga uchyate
“Pusatkan pikiranmu pada kesucian, bekerjalah tanpa menghirukan pahala, Dananjaya, tegaklah
pada sukses maupun kegagalan, sebab, keseimbangan jiwa adalah yoga”
Dipertegas lagi oleh sloka (49) yang bunyinya :
durena hy avaram karma
buddhi yogad dhanamjaya
buddhau saranam anvichchha
kripanah phala hetevah
“Rendahlah derajat kalau hanya kerja tanpa disiplin budi, oh Dananjaya. Serahkanlah dirimu
pada Yang Maha Tahu, kasihan yang mengharap pahala dari kerja”.[8]
           

            Dalam Bhagawadgita tentang Karma Yoga dinyatakan sebagai berikut:
Tasmad asaktah satatam karyam karma samcara, asakto hy acaran karma param apnoti purusah. (Bhagawadgita III. 19)
Artinya:
”Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama.”
Bekerja disini bukanlah diaartikan sebagai mencari uang, tetapi kerja sosial atau kerja bakti. Jadi bekerja menurut keduniawian adalah wajib hukumnya. Dalam Agama Hindu dikenal dengan istilah Subha dan Asubha Karma. Subha Karma adalah perbuatan yang baik atau bekerja dengan baik sementara itu lawannya adalah Asubha Karma atau bekerja secara tidak benar dan tidak bekerja. Bekerja secara tidak benar disebut Wikarma dan tidak bekerja disebut Akarma. Jadi Asubha Karma mencakup Akarma dan Wikarma. Dari istilah Akarma atau tidak bekerja yang dalam Agama Hindu tidak dibenarkan, jelas tampak bekerja itu adalah merupakan suatu keharusan bagi manusia. Tidak bekerja adalah menentang petunjuk Tuhan atau dosa artinya bahwa Tuhan tidak akan memberi rahmat kepada orang-orang yang tidak dapat bekerja, bahwa prilaku seperti itu adalah perbuatan dosa.
Ada perilaku khusus yang dapat juga dikatakan sebagai Akarma atau tidak bekerja yang berkaitan dengan pemakaian makhluk halus, mencari uang dengan memelihara tuyul. Yang bekerja atau mencuri adalah tuyul itu, sementara yang empunya tinggal menunggu saja hasil kerja si tuyul. Akarma seperti itu lebih berbahaya bagi atmanya daripada Akarma yang lain diatas. Sebab orang yang minta bantuan roh makhluk halus, kalau meninggal akan menjadi makhluk halus seperti itu. Sebaliknya si makhluk halus bisa menjelma menjadi manusia.[9]

3)      Jnana marga
Jnana artinya, kebijakan filsafat (pengetahuan). Sehingga, Jnana Marga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Tiada ikatan yang lebih kuat daripada Maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh daripada Yoga untuk membasmi ikatan-ikatan Maya itu. Untuk melepaskan ikatan-ikatan kita harus mengarahkan segala pikiran kita dan memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci. Akan tetapi, bila kita ingin memberi suatu bentuk kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran harus menerimanya. Sebaiknya bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya. Jadi proses pertumbuhan merupakan hal yang mutlak, sebagai jalan tumbuhnya pikiran, perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma, dan sikap batin (wikrama) sangat diperlukan dimana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak berbuat maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan kualitas sebenarnya dari pikiran kita. Ada tiga hal yang penting dalam hidup ini yaitu kebulatan pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri, dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh, tentram, dan damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan Dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan Abhyasa,yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Kekuatan pikiran kita lakukan saat kita berbuat apa saja, dan pikiran harus kita pusatkan kepada-Nya.[10]
Dalam Bhagavad Gita Bab IV yang membahas tentang Jnana Yoga. Sloka (33) menyebutkan:
srayan dravyamayad yajnaj
jnanayajnah paramtapa
sarvam karma ‘khilam partha
jnane perisamapyate
”Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, oh Parta.”
Selanjutnya dalam bab yang sama sloka (34), (36), (39) dikatakan :
Sloka (34)
tad viddhi pranipatena
pariprasnena sevaya
upadekshyanti te jnanam
jnaninas tattvadarsinah
“Belajarlah dengan sujud disiplin, dengan bertanya dan dengan kerja berbakti; guru budiman yang melihat kebenaran akan mengajarkan padamu ilmu budi pekerti.”
Sloka (36)
api ched asi papebhyah
sarvebhyah papakrittamah
sarvam jnanaplavenai ‘va
vrijinam samtarishyasi
“walau seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa; dengan perahu
ilmu pengetahuan ini lautan dosa engkau akan sebrangi.”
Sloka (39)
sraddhavaml labhate jnanam
tatparah samyatendriyah
jnanam labdhva param santim
achirena dhigachchhati
“Ia yang memiliki kepercayaan dan menguasai pancaindrianya akan mencapai ilmu pengetahuan; setelah memiliki ilmu pengetahuan dengan segera ia menemui kedamaian abadi.”
Dari beberapa sloka di atas jelaslah, bahwa betapa sangat pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia untuk dijadikan landasan dan kompas yang dapat menopang dan mengarahkan langkahnya didalam melaksanakan Karma, Bhakti dan Raja Marga sehingga sesuai dengan hakekat ajaran weda yang merupakan kitab suci bagi umat hindu.

4)      Raja Marga
Kata Raja berarti yang memimpin, yang tertinggi atau yang terkemuka. Raja Marga artinya jalan yang tertinggi sedang Raja Marga juga bisa disebut Yoga Marga berarti jalan atau usaha tertinggi untuk menghubungkan diri dengan Tuhan yang Maha Esa melalui jalan yoga yang tertinggi. Raja Marga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai moksa, raja marga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan semadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang lebih positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan semadhi adalah latihan untuk menyatukan atma dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.[11]
Raja Marga Yoga disebut “Nivrtti Marga” ,yang artinya jalan yang tidak umum atau bertentangan dengan dua yang sebelumnya. Raja marga Yoga memerlukan pengendalian diri, disiplin diri, pengekangan dan penyangkalan terhadap hal – hal yang bersifat keduniawian. Seseorang yang mempunyai bakat untuk itu dan mendapatkan seorang guru yang tepat untuk menuntunnya, maka yang bersangkutan akan berhasil mengikuti Raja Marga Yoga ini. Jalan yang Ditempuh Raja Yogin Adapun jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin (orang yang melaksanakan Raja Marga Yoga), yaitu dengan melakukan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita ke arah yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Yoga dan samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran. Yoga berasal dari akar kata Sanskerta “Yuj” yang artinya to join (ikut serta, bersatu, mengikat). Secara spiritual Yoga merupakan suatu proses di mana identitas jiwa individual dan jiwa Ida Sang Hyang Widhi disadari oleh seorang yogi, Yogi adalah orang yang menjalani yoga, orang yang telah mencapai persatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi. Jiwa manusia dibawa kepada kesadaran akan hubungan yang dekat dengan sumber realitas (Ida Sang Hyang Widhi). Seperti setitik air yang bersatu dengan air di samudra. Yoga adalah ketenangan hati, ketentraman, keahlian dalam bertingkahlaku, Seyogala sesuatu yang terbaik dan tertinggi yang dapat dicapai dalam hidup ini adalah Yoga juga,Yoga mencakup seluruh aplikasi yang inclusive dan universal yang mengantar  kepada pengembanngan atau pembangunan seluruh badan, pikiran dan jiwa. Yoga pada dasarnya adalah sebuah cara atau jalan hidup. Bukan sesuatu yang keluar dari kehidupan, bukan pula menjauhkan diri dari aktifitas, melainkan merupakan performa yang efisien dengan semangat hidup yang benar. Yoga bukan pula melarikan diri dari rumah dan kebiasaan hidup manusia, melainkan merupakan suatu proses pembentukan sikap untuk hidup di rumah (keluarga) maupun hidup bermasyarakat dengan suatu pengertian baru, Yoga bukan memalingkan dari kehidupan, Dia merupakan spiritual dari hidup.[12]
Dalam Bab VI Kitab Bhagawad Gita yang mengajarkan tentang Dhyana Yoga. Dalam sloka (11), (12), (13), dan (14) disebutkan :

suchau dese pratishthapya
sthiram asanam atmanah
na ’tyuchchhritam na ’tinicham
chaila jina kusottaram
tatrai ’kagram manah kritva
yata chittendriya kriyah
upavisya ‘sane yunjyad
yogam atma visuddhaye
samam kayasirogrivam
dharayann achalam sthirah
samprekshya nasikagram svam
disas cha ‘navalokayan
prasantatma vigatabhir
brahmacharivrate sthitah
manah samyamya machchitto
yukta asita matparah
Artinya : “Dengan teguh duduk di tempat yang bersih, tidak tinggi dan juga tidak rendah, ditumbuhi oleh rumput suci kosa, di atasnya kulit rusa dan kain silih bertindih. Disana, dengan menyatupasukan hatinya, mengendalikan pikiran dan gerak pancaindria, ia bersila di atas tempat duduknya, melaksanakan yoga, menyucikan jiwa. Dengan badan, kepala dan leher tegak, duduk diam tiada bergerak-gerak, tetap memandang ke ujung hidungnya, dan tanpa menoleh-noleh sekitarnya.Dengan tenteram damai tiada gentar, teguh sebagai cantrik, menaklukkan hatinya dengan harmonis memikirkan Aku belaka, biarlah ia duduk, Aku jadi tujuannya.”




[1] Partadjaja,Tjok Rai  dan Luh  Asli, Pendidikan Agama Hindu, (Singaraja: UNDIKSHA,2009), hlm. 243
[2] Suhardana,K.M,Pengantar etika dan moralitas hindu, Paramita surabaya,Thn 2006. Hal 22
[3] http://ketuhanan-hindu.blogspot.co.id/2013/11/catur-marga_26.html
[4] Suhardana,K.M,Pengantar etika dan moralitas hindu, Paramita surabaya,Thn 2006. Hal 23
[6] http://ismailsholeh94.blogspot.co.id/2015/06/catur-marga-panca-yadnya-dan-ajaran.html
[7] Cundamani,Pengantar agama hindu, untuk perguruan tinggi, yayasan wisma karya 1987, jakarta. Hal 111
[8] Baghavad Gita dikutip Kirit Patel dan Vijay C Amin.1999. Karma Yoga.Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia
[9] Cundamani. Pengantar agama Hindu untuk perguruan ; Yayasan Wisma Karma,1993. Jakarta
[10] Pendit, Nyoman S. 1996. Hindu Dharma Abad XXI. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha
[11] Romdhon,dkk Agama-agama di dunia (yogyakarta, IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988)
[12] Praptini, dkk. 2004. Buku Pelajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar