AJARAN BUDDHA & KEMATIAN
LINK : https://dhammacitta.org/pustaka/ebook/umum/Ajaran%20Buddha%20dan%20Kematian.pdf
BUKU PEDOMAN UMAT BUDDHA
LINK : http://bukudharma.com/ebook/buku%20pedoman%20umat%20buddha.pdf
BUDDHA DAN DHARMANYA
LINK : http://bukudharma.com/ebook/buddha%20dan%20dhammanya.pdf
LINK : http://idr.uin-antasari.ac.id/3834/4/BAB%20I.pdf
LINK : http://web.uni-frankfurt.de/irenik/relkultur107.pdf
LINK : http://library.binus.ac.id/eColls/eJournal/02_DKV_Nick%20Soedarso.pdf
Selasa, 28 November 2017
Minggu, 26 November 2017
RESPONDING PAPER 12
A. Upacara Kelahiran
Kelahiran dan Bayi Upacara
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang diberikan.
Lahir Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Menurut "Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan bayi-ritual.
B. Perkawinan dan upacara perkawinan
Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas perkawinan
“Sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di dalam pasal 10 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan bahwa : Izin untuk beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat apabila : a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Walaupun ketentuan ini ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan bahwa izin tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai Negeri Sipil yang memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan yang mengikat dan untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
UPACARA PERKAWINAN
I. PERSIAPAN UPACARA
A. Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha (misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
- Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
- Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
- Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
- Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
- Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B. Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
C. Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
II PELAKSANAAN UPACARA
A. TEMPAT UPACARA
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
B. PERLENGKAPAN ATAU PERALATAN UPACARA
Persiapan peralatan upacara :
- Altar dimana terdapat Buddharupang.
- Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
- Tempat dupa
- Dupa wangi 9 batang
- Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
- Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
- Cincin kawin
- Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
- Pita kuning sepanjang 100 cm
- Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
- Surat ikrar perkawinan
- Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C. PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN
- Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
- Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
- Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
- Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
- Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
- Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
- Pernyataan ikrar perkawinan**)
- Pemasangan cincin kawin.
- Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
- Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
- Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
- Wejangan oleh pandita.
- Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
- Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)
SUPATIPANNO BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan :
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.
Referensi :
(Sumber: Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam Agama Buddha, Penyusun: Pandita Sasanadhaja Dokter R. Surya Widya, psikiater,
Pernerbit : Pengurus Pusat MAGABUDHI bekerjasama dengan
Yayasan Buddha Sasana, Cetakan Pertama, Mei 1996)
Pernerbit : Pengurus Pusat MAGABUDHI bekerjasama dengan
Yayasan Buddha Sasana, Cetakan Pertama, Mei 1996)
AGS Kariyawasam, "Upacara dan Ritual Buddhis Sri Lanka." The No Roda 402/404 http://www.buddhistinformation.com/buddhist_ceremonies_and_rituals_of_sri_lanka.htm>
RESPONDING PAPER 11
Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
1) Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
— Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan .
Sarana :
1. Pamarisuda: Byakala dan prayascita.
2. Tataban: Sesayut, pengambean, peras penyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh.
3. Di depan sanggar pemujaan : benang hitam satu gulung kedua ujung dikaitkan pada dua dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar, ceraken (tempat rempah-rempah).
— Waktu Upacara Garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari (7 bulan). Tidak harus persis, tetapi disesuaikan dengan hari baik. Tempat Upacara Garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggar pemujaan (sanggah kamulan). Pelaksana Upacara ini dipimpin oieh Pandita, Pinandita atau salah seorang yang tertua (pinisepuh).
Tata Pelaksanaan :
1. lbu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2. Si lbu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bamboo runcing.
4. Si Suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si Istri sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab
2) Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara
— Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.
Sarana :
1. Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen) dan buah buahan.
2. Canang sari / canang genten, sampiyan jaet dan penyeneng.
— Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil (periuk kecil) dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang. Waktu Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama.
— Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah. Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.
Tata Cara :
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.
Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
— Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana
1. Segehan cacahan warna lima.
2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
— Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Makna Kematian dan Upacaranya
— Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
RESPONDING PAPER 10
AJARAN BUDDHA TENTANG BHAVANA
a. Pengertian Bhavana
Bhavana berarti pengembangan batin, maksudnya pengembangan batin dalam melaksanakan meditasi/ samadhi.
Terdapat dua macam Bhavana, yaitu:
1. Samatha-Bhavana artinya pengembangan ketenangan batin, atau dengan sebutan lain Samatha-Kammatthana yang artinya ketenangan batin sebagai tujuan dari meditasi/ samadhi dengan memilih salah satu dari 40 obyek dan diantaranya yang terbaik bagi mereka yang pertama kali melatih Samatha Bhavana ialah memakai objek Metta.
2. Vipassana Bhavana artinya pengembangan pandangan terang. Atau dengan sebutan lain Vippasana Kammathana artinya pendangan terang sebagai tujuan dari meditasi/ samadhi, tanpa memakai objek apapun, melainkan hanya perhatiannya yang ditunjukan kepada gerak-gerik jasmani dan rohani.
Istilah Bhavana ini berarti melatih dan mendidik mental dalam arti sepenuhnya, yang bertujuan untuk membersihkan pikiran dari segala kotoran batin dan rintangan-rintangan, seperti keinginan hawa nafsu jahat, kebencian, kemalasan, kemampuan untuk menganalisa, keyakinan, kegembiraan, ketenangan, sehingga akhirnya mencapai kebijaksanaan tertinggi dan dapat melihat benda-benda dalam keadaan sewajarnya serta dapat menyelami kesunyataan, Nibbana/Nirwana.
b. Macam-macam Bhavana
1. Metta Bhavana, artinya cinta kasih dan bhavana artinya pengembangan. Jadi metta bhavana berarti meditasi untuk mengembangkan cinta kasih dan untuk membersihkan kekotoran pikiran atau kebencian (dosa).
Dengan kata lain meditasi Metta Bhavana disebut pengembangan cinta kasih yang bersifat universal. Dengan tujuan semata-mata untuk membersihkan segala kekotoran pikiran yang penuh dengan kebencian.
Cara-cara melaksanakan meditasi ini biasanya
a. Antara jam 04.00-06.00 pagi hari, dan 16.00-18.00 untuk sore hari, kemudian jam 19.00-22.00 untuk malam hari.
b. Membaca paritta terlebih dahulu sebelum melakukan meditasi, boleh dibaca panjang dan apabila waktunya tidak memungkinkan boleh dibaca pendek/ secukupnya.
c. Posisi duduk dengan bersila dan posisi badan tegak dengan keadaan rileks.
d. Memejamkan mata dan pikiran dan membayangkan objek yang dipakai.
e. Meminta petunjuk atau nasihat bagi pemula kepada yang lebih berpengalaman, supaya pelaksanaan bisa berjalan lancar (sukses).
f. Tempat melakukan meditasi dianjurkan pada tempat yang terhindar dari kebisingan, atau terganggu nyamuk dan lainnya yang membuatnya tidak khusu’ dalam melakukan meditasi tersebut.
2. Samatha Bhavana, ialah pengembangan ketenangan batin dengan memakai salah satu dari 40 obyek meditasi dan sebagai pahalanya yang akan diperoleh yaitu Jhana, setelah kematiannya dari alam manusia akan bertumimbal lahir di Alam Brahma.
3. Vippasana Bhavana, ialah pengembangan pandangan terang tanpa memakai objek, tetapi hanya menggunakan perhatian yang ditujukan kepada gerak-gerik jasmani dan rohani dan pelaksanaan meditasi ini adalah satu-satunya jalan terpendek untuk mencapai Nibbana.
RESPONDING PAPER 9
Yadnya adalah sering diartikan sebagai “kurban/kurban suci” yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas dalam ajaran Agama Hindu. Kata ini berasal dari Bahasa Sanskerta: yakni (yajña) yang merupakan akar kata dari “Yaj”, yang berarti memuja, mempersembahkan atau korban suci.
Sementara yang dimaksud dengan Panca-Yadnya adalah : Panca artinya lima dan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus, ikhlas, kehadapan Tuhan. Kesimpulannya adalah lima dasar sesembahan yang sacral dilandasi rasa ikhlas, tulus, pada Hyang Widi yang dalam istilah Bali umumnya masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi Wasa/Sanghyang Widi Wase. [1][2]
Selain itu, di dalam Panca Yadnya terdapat lima pelaksaan bagian yaitu :
a. Dewa Yadnya
b. Bhuta Yadnya
c. Manusia Yadnya
d. Pitara Yadnya
e. Rsi Yadnya
Dari kelima bagian tersebut memliki peran penting dari tiap-tiap unsur, dan tujuan dari panca yadnya Bila direnungkan tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya. Dalam konsep Agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia ini, jadi yadnya itu bertujuan untuk melangsungkan kehidupan yang berkesinambungan yaitu melalui beberapa cara sebagai berikut:
· Membayar Rna (hutang) untuk mencapai kesempurnaan hidup.
· Melebur dosa untuk mencapai kebebasan yang sempurna.
Macam Macam pelaksanaan upacara Yadnya :
a. Upacara Dewa Yadnya
Dewa asal kata dalam bahasa Sanskirt “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari tuhan yang di anut oleh umat hindu bila di bali menyebutnya Ida Sanghyang Widi Wasa. Yadnya sendiri artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Dari tujuan upaca dewa Yadnya untuk pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan tuhan dan sinar-sinar sucinya yang disebut dewa-dewi.
Karena adanya pemujaan terhadap dewa-dewi atau para dewa beliau dianggap sebagai yang mempengaruhi dan mengatur kehidupan semua didunia ini. [3][4]
Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengetahuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina (sejenis alat musik), genitri (semacam tasbih), pustaka lontar bertuliskan sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian.
b. Upacara Bhuta Yadnya
Bhuta artinya unsur-unsur alam sedangkan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Kata “Bhuta” sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energy”. Bhuta kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya. Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali). Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan.
c. Upacara Manusa Yadnya
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Adapun beberapa upacara Manusa Yadnya ini melalui beberapa fase diantaranya:
1. Upacara kelahiran bayi
2. Upacara tutug kambuhan, tutug sambutan, dan tutug mapetik
· Upacara Tutug Kambuhan (upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.
· Upacara tutug Sambutan (upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian jiwatman dan penyucian badan si bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan.
· Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaanya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan
3. Upacara perkawinan
d. Upacara Pitara Yadnya adalah upacara persembahan bagi orang mati. dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu. Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan akasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan api pralina (api alat kremasi).
e. Upacara Rsi Yadnya
Rsi artinya orang suci sebagai rohaninya bagi masyarakat umat hndu dibali. Upacara Resi Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai penghormatan serta pemujaan kepada pada rsi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-batin didunia akhirat
itulah rangkaian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para leluhur Hindu di Bali.
Langganan:
Postingan (Atom)